Selasa, 15 Desember 2009

Prita, Kakao dan Semangka: Tiga Meditasi

Empat anak manusia mengetuk gerbang Ilahi dalam lirih meditasi suara hati. "Tok, tok, tok...," suara pintu berdesah seirama dengan keluh kesah mereka yang mencari untuk menemukan makna perilaku di dunia serba fana.

Malaikat penjaga yang dilengkapi pedang terhunus di tangan kanan berujar, "Silakan masuk, sebelum terdengar suara menggelegar".

Prita Mulyasari, seorang ibu rumahtangga, kini duduk sebagai terdakwa kasus pencemaran nama baik Rumah Sakit Omni International, Serpong, Kota Tangerang Selatan (Tangsel), Banten.

Ia menghentak publik, karena ia menanggung denda sebesar Rp204 juta untuk mengganti kerugian rumah sakit itu. Dilancarkanlah aksi pengumpulan dana "Koin Untuk Prita". Gemerincing uang logam terus memalu hati bening rakyat di penghujung 2009.

Minah (55), seorang nenek, tidak pernah menduga bahwa perilaku isengnya memetik tiga buah kakao di perkebunan milik PT Rumpun Sari (RSA) menyeretnya sebagai pesakitan di meja hijau. Ia diganjar satu bulan 15 hari penjara dengan masa percobaan tiga bulan. Ranum buah kakao menyeret nenek Minah ke hotel prodeo. Dan media massa melabelnya sebagai salah satu ironi hukum Indonesia.

Basar (40) dan Kholil (51), dua pelaku pencurian sebuah semangka, ditahan di LP Kelas II A Kediri. Dalam menjalani proses persidangan, keduanya mendapatkan ancaman hukuman lima tahun penjara, karena dianggap melanggar Pasal 362 KUHP tentang tindak pidana pencurian biasa.

Awal Desember (1/12/2009), keduanya boleh menghirup udara bebas setelah mengajukan penangguhan penahanannya dikabulkan majelis hakim Pengadilan Negeri Kota Kediri. Semangka berbuah penjara.

Siapa Prita, siapa nenek Minah, siapa Basar dan Kholil? Mereka menghadapi tebasan pedang hukum dalam rumus beku pasal demi pasal. Gulita malam tanpa bintang gemerlap, itulah pelukisan rentang hidup keempatnya.

Bermaksud menuangkan curhat kepada sobat lewat layanan pesan singkat (SMS) mengenai layanan sebuah rumah sakit, Prita mendapat ganjaran denda ratusan juta rupiah. Ibu ini pun berterima kepada apa yang didaulat hukum meski ia beberapa kali berlinang air mata seraya berucap syukur kepada Yang Ilahi.

Sementara Minah dengan tiga kakaonya, Basar dan Kholil dengan semangkanya, sama-sama mendongkel suara hati publik dengan mengajukan pertanyaan, "Mengapa engkau tak mengajukan protes? Mengapa diam saja? Engkau mengira di dunia ini kita bisa hidup tanpa unjuk gigi? Engkau kira di dunia ini kita bersikap begitu bebal dan tegar tengkuk?" Ini meditasi pertama yang menggelegar ketika menjejak kasus keempat anak manusia.

Tidak perlu bersegera menjawab pertanyaan menukik di relung sanubari suara hati. Di seberang sana masih ada meditasi kedua dengan meminjam kata "saya" yang lebih personal, lebih pribadi. Bukankah suara hati memiliki ciri personal? Bukankah suara hati kerapkali disebut sebagai suara Yang Ilahi, seperti pernah dinyatakan oleh filsuf John Henry Newman.

Ini meditasi kedua, "Saya ikuti dia dengan pandangan mata saya. Saya pun berpikir, alangkah mudahnya menjadi orang kuat di dunia ini. Alangkah rentannya menjadi jelata di tengah dunia yang relatif sulit mengucapkan terima kasih kepada sesama."

Bukankah suara hati dalam bahasa Latin disebut sebagai "consscientia", berasal dari akar kata "conscire", yang berarti "mengetahui bersama" dan "turut mengetahui". Suara hati menjadi saksi sekaligus hakim yang menjatuhkan penilaian dan putusan atas segala perbuatan.

Meditasi ketiga, apa persamaan tubuh dan mesin? "Tubuh dan mesin akan tampak serupa. Kesamaan tubuh dan mesin terjadi, jika tubuh meniru mesin. Dengan demikian, kepatuhan berarti pertama-tama menggerakkan tubuh sesuai perintah dan prosedur," tulis F. Budi Hardiman dalam buku Memahami Negativitas.

Yang aduhai, di awal jaman modern, filsuf Rene Descartes memandang tubuh sebagai "l homme machine", suatu mesin yang digerakkan oleh naluri-naluri hewani.

Hardiman menulis, bukan hanya "punishment" melainkan "reward" dapat mempercepat metamorfosis tubuh. Rasa sakit dan kenikmatan adalah dua macam kode bagi tubuh untuk segera patuh, yakni meniru skema-skema njlimetnya komando dan ketatnya disiplin.

Tiga meditasi menyentuh sejumlah sosok ketika menyambangi teknologi kepatuhan dalam PritaGate, CocoaGate dan SemangkaGate. Seorang kakek bernama Mundala (65), datang kemudian menyerahkan kotak merah berisi uang recehan ke Posko Koin untuk Prita di Jalan Taman Margasatwa Nomor 60, sekitar pukul 10.00, Senin (7/12). Kumpulan uang receh ini berasal dari komunitas pemulung di Srengseng Sawah.

Tak kuasa membendung linangan air matanya, ia mengaku turut prihatin dengan kasus yang menimpa Prita. “Mereka (rekan-rekan pemulung) sedih, demi keadilan, mereka berusaha mengumpulkan uang Rp 50, Rp 500,” ujar Mundala sambil menangis saat menyerahkan uang itu, sebagaimana ditulis dalam laman Kompas. “Orang pakai e-mail, kenapa mesti dicecar? Tapi kalau kasus Century, enak-enak saja,” ujarnya lagi.

Tiga meditasi juga menyentuh suara hati ketua majelis hakim, Muslih Bambang Luqmono SH yang menyidangkan Nenek Minah. Ia terlihat menangis saat membacakan vonis. "Kasus ini kecil, namun sudah melukai banyak orang," ujar Muslih.

Vonis hakim 1 bulan 15 hari dengan masa percobaan selama tiga bulan disambut gembira keluarga, tetangga dan para aktivis LSM. Mereka segera menyalami Minah karena perempuan renta itu urung merasakan dingin dan lembabnya jeruji tahanan.

Sementara, SemangkaGate mendaulat Walikota Kediri Samsul Ashar. "Saya melihatnya sebagai potret kemiskinan yang harus segera diselesaikan. Ternyata kemiskinan tidak hanya bisa diselesaikan dengan pendidikan dan kesehatan gratis saja," ungkapnya saat ditemui wartawan di sela kunjungannya ke rumah Basar di Kelurahan Bujel, Kecamatan Mojoroto, Rabu (2/12/2009).

Tiga meditasi bermuara kepada kredo bahwa suara hati dapat memberi energi Ilahi untuk tidak meniru mesin belaka. Suara hati memungkinkan tubuh untuk membangkang dan menolak untuk meniru mesin.

Pertanyaannya, mengapa orang atau kelompok mematuhi perintah rezim, meskipun perintah itu bertentangan dengan lonceng nurani mereka? Mengapa potensi pembangkangan tubuh serta merta raib, sehingga jati diri mereka digerakkan seperti mesin-mesin?

Dan Prita Mulyasari berujar secara meditatif. "Sumbangan uang koin simbol kekuatan rakyat kecil yang begitu saya hargai," katanya di rumahnya di Bintaro, Tangerang Selatan, Minggu (6/12).

Legenda Yunani kuno memberi hikmat. Setelah mengampuni Promotheus, Yupiter hendak menghukum manusia. "Manusia kini memiliki api, aku hendak membalas dendam. Tetaoi aku tidak akan melenyapkan mereka dengan kilat dan petir. Aku akan memberi suatu hadiah, itulah pembalasanku!" Siapa membuka Kotak Pandora?

www.kompas.com

Pengacara Prita: Tanggapan Jaksa Sudah "Dipelintir"

OC Kaligis, pengacara Prita Mulyasari (32), terdakwa pencemaran nama baik melalui surat elektronik atau e-mail terhadap manajemen Rumah Sakit Omni Internasional, Tangerang, Banten, menyebutkan bahwa tanggapan jaksa tidak sesuai dengan isi rekaman.

"Setiap sidang, kami punya bukti rekaman suara dan gambar. Maka dari itu, tanggapan jaksa sudah dianggap melenceng dan menyiapkan pembelaan pekan depan," kata OC Kaligis di Tangerang, Rabu (9/12/09).

Menurut dia, tanggapan jaksa Riyadi setebal 23 halaman yang dibacakan secara bergiliran dengan Rahmawati Utami itu sudah "dipelintir" dan sangat berbeda dengan rekaman dan gambar yang dibuat.

Kuasa hukum Prita itu selalu membuat rekaman berupa gambar dan suara setiap sidang di PN Tangerang untuk diperdengarkan kembali. Namun, OC mengatakan, masalah tersebut usai setelah jaksa Riyadi membacakan pembelaan di hadapan majelis hakim yang diketuai Arthur Hangewa atas tanggapan pengacara karena mereka menuntut Prita enam bulan penjara.

Prita pernah mendekam di penjara Lembaga Pemasyarakatan Wanita Tangerang selama 21 hari karena dituduh mencemarkan nama baik RS Omni setelah mengirimkan e-mail kepada rekannya. E-mail itu berisikan keluhan akibat buruknya pelayanan.

Manajemen RS Omni melalui dr Grace Hilda dan dr Hengky Gozal akhirnya mengadukan tindakan Prita itu ke Polda Metro Jaya sehingga Prita diperiksa penyidik dan ditetapkan sebagai terdakwa.

Istri dari Andry Nugroho itu dijerat pasal berlapis, yakni Pasal 27 ayat 3 UU ITE dan Pasal 310 KUHP pencemaran nama baik dengan serta Pasal 311 KUHP.

Kaligis membantah pernyataan jaksa bahwa telah terbentuk pendapat dari masyarakat tentang kasus Prita karena kuasa hukum sering melakukan temu wartawan. Padahal, masalah yang sama juga dilakukan jaksa.

"Kalau usai sidang ada wartawan yang melakukan wawancara atau mengambil gambar, apa saya harus menolak dan bertindak kasar dengan cara mengusir. Mereka bekerja dilindungi undang-undang," katanya.

Walau begitu, baik Kaligis maupun timnya tidak pernah melakukan temu wartawan secara khusus selama menangani kasus Prita, baik sebelum maupun sesudah sidang.

Sidang kasus Prita dengan agenda mendengarkan tanggapan penasihat hukum kembali digelar pada Selasa (15/12) di ruang utama Prof Oemar Seno Adji PN Tangerang. www.kompas.com

Jaksa: Prita Terbukti Bersalah!


Jaksa penuntut umum bersikeras menyatakan bahwa Prita Mulyasari (32), terdakwa perkara pidana dugaan pencemaran nama baik terhadap Rumah Sakit Omni International Alam Sutera, Serpong, Tangerang, bersalah.

Prita dinyatakan terbukti mendistribusikan, mentransmisikan, dan membuat dapat diaksesnya informasi atau dokumen elektronik yang memiliki muatan penghinaan dan pencemaran nama baik terhadap dokter dan rumah sakit tersebut.

Demikian dinyatakan jaksa penuntut umum dalam replik atau tanggapan terhadap pembelaan Prita pada sidang lanjutan perkara tersebut di Pengadilan Negeri Tangerang, Rabu (9/12/09). Dalam tanggapannya, mereka meminta agar majelis hakim menjatuhkan pidana hukuman penjara enam bulan kepada terdakwa.

Tanggapan jaksa sebanyak 23 halaman dibacakan secara bergantian oleh Riyadi dan Rakhmawati Utami selama lebih dari satu jam.

"Prita terbukti bersalah sebagaimana yang diatur dan diancam pidana dalam Pasal 27 ayat 3, Pasal 45 ayat I, Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik," kata Riyadi.

Dalam tanggapannya, jaksa menilai bahwa Prita dengan sengaja telah membuat e-mail dan menyebarkan isi surat itu dengan menggunakan laptopnya sendiri.

Sesuai fakta persidangan yang tidak dibantah dan terbantahkan, Riyadi mengatakan, dalam kalimat akhir surat elektronik terdakwa terdapat: "Saya mengharapkan mudah-mudahan salah satu pembaca karyawan atau dokter atau manajemen RS Omni, tolong sampaikan ke dokter Grace, dokter Mimi dan Ogi bahwa jangan sampai pekerjaan mulia kalian sia-sia hanya demi perusahaan anda."

Atas replik jaksa itu, penasihat hukum Prita, OC Kaligis, mengajukan duplik. "Majelis hakim yang terhormat, kami minta waktu tujuh hari atau seminggu," ujar Kaligis.

RS Omni Cabut Gugatan, Prita Tak Jadi Bayar Denda Rp 204 Juta

Rumah Sakit Omni Internasional Alam Sutera, Serpong, Tangerang Selatan, mencabut gugatan perdata atas Prita Mulyasari. Dengan demikian, Prita terbebas dari kewajiban membayar denda sebesar Rp 204 juta yang diputuskan Pengadilan Negeri Tangerang dan dikukuhkan oleh Pengadilan Tinggi Banten.

"Semoga itikad baik kami ini dapat diterima oleh Ibu Prita Mulyasari dengan ikhlas demi kebaikan dan berkah untuk kita semua serta mendapat ridho dari Allah SWT," ujar Direktur RS Omni Internasional Alam Sutera, Serpong, dr Bina Ratna kepada wartawan di RS Omni Internasional Alam Sutera, Serpong, Tangerang Selatan, Jumat (11/12/2009).

Selanjutnya, untuk kasus pidana yang sidangnya tengah berjalan di PN Tangerang, Bina mengatakan, pihaknya menghormati proses hukum yang berjalan. "Kami berharap upaya yang kami lakukan ini dapat menjadi pertimbangan majelis hakim dalam sidang pidana," kata dia.

Prita Mulyasari didakwa melakukan pencemaran nama baik terhadap RS Omni Internasional Alama Sutera, Serpong, karena keluhannya atas pelayanan rumah sakit itu beredar di internet melalui surat elektronik. Selain dituntut secara pidana, RS Omni juga menggugat Prita secara perdata.

PN Tangerang menjatuhkan putusan, Prita diwajibkan membayar denda sebesar Rp 204 juta. Putusan ini dikukuhkan PT Banten. Prita mengajukan kasasi atas putusan tersebut.

Kasus Prita menimbulkan simpati masyarakat. Demi membantu Prita membayar denda, sejumlah orang menggagas gerakan "koin untuk Prita". Uluran tangan mengalir dari seluruh Indonesia, dari bocah TK hingga pemulung. Uang koin terkumpul hingga mencapai lebih dari Rp 100 juta.

Mantan Menteri Perindustran Fahmi Idris merogoh koceknya sebesar Rp 102 juta. Sementara itu, lembaga DPD memberikan bantuan sebesar Rp 70 juta. Di tengah bantuan yang mengalir deras inilah, RS Omni mencabut gugatannya.
www.kompas.com

Omni Cabut Gugatan, Koin Tetap Diberikan kepada Prita


JAKARTA, KOMPAS.com — Meski RS Omni International telah resmi mencabut gugatan perdata kepada Prita Mulyasari, hasil pengumpulan koin yang selama ini digalang lewat Koin untuk Prita tetap akan diberikan kepada ibu beranak dua itu. Dengan pencabutan tersebut, Prita terbebas dari kewajiban membayar denda sebesar Rp 204 juta yang diputuskan Pengadilan Negeri Tangerang dan dikukuhkan oleh Pengadilan Tinggi Banten.

"Tetap kami akan serahkan kepada Ibu Prita," sebut salah seorang relawan Posko Koin untuk Prita Jatipadang, Yusro, saat dihubungi Kompas.com di Jakarta, Jumat (11/12/2009).

Menurutnya, sesuai dengan tujuan awal dari aksi solidaritas Koin untuk Prita, pihaknya tetap memberikan semua hasil penggalangan yang diterimanya kepada Prita. "Penggunaannya terserah, sangat terserah Ibu Prita," ungkap Yusro.

Yusro menerangkan, berdasarkan kesepakatan kemarin, Koin untuk Prita akan dibuka sampai tanggal 14 Desember 2009, kemudian penghitungan dilakukan tanggal 17 Desember. "Setelah penghitungan, baru diberikan," ujar dia.

Menurut Yusro, di Posko Jatipadang, sampai saat ini sudah terkumpul koin setidaknya 10 karung besar, satu peti ukuran 40 x 50 cm, dan berkantung-kantung plastik. "(Sumbangan) dari DPD, Pak Fahmi, maupun Demokrat tidak lewat kami," ungkap Yusro.

Prita Mulyasari didakwa melakukan pencemaran nama baik terhadap RS Omni International Alam Sutera, Serpong, karena keluhannya terhadap pelayanan rumah sakit itu beredar di internet melalui surat elektronik. Selain dituntut secara pidana, RS Omni juga menggugat Prita secara perdata. www.kompas.com

Kasus Prita, Cermin Buruk Komunikasi Pasien-Dokter

Kasus yang menimpa Prita Mulyasari seharusnya bisa dicegah apabila ada komunikasi yang baik antara pasien dan dokter. Demikian dikatakan Ketua Majelis Kehormatan Etika Kedokteran (MKEK) Ikatan Dokter Indonesia (IDI) Cabang Jakarta Barat Prof dr Budi Sampurna, SH, SpF, DFM.

Budi menyarankan, jembatan penghubung antara pasien dan dokter harusnya diperkuat. Hal ini pun sedang diupayakan mengingat kesadaran masyarakat terhadap kebutuhan informasi medis terus meningkat. Kesadaran dokter, bahwa masyarakat butuh ketenangan dengan mengetahui penyakitnya, pun kian bertambah.

Budi menyampaikan hal itu dalam seminar awam bertajuk Bagaimana Berobat Secara Pintar yang digelar dalam rangka memperingati HUT Ke-90 RS Cipto Mangunkusumo (RSCM) pekan lalu. Dalam seminar itu, diberikan pengetahuan mengenai pendekatan diagnosis dan terapi seorang dokter serta saran dan cara-cara dalam menghindari malapraktik.

Budi menyarankan agar pasien tak ragu untuk bertanya kepada dokter mengenai penyakitnya sehingga terhindar dari miskomunikasi yang berujung pada perselisihan. Selain itu, dokter pun seharusnya lebih komunikatif terhadap pasien mengenai penyakit yang pasien alami.

Dalam kesempatan terpisah, Ketua Konsili Kedokteran Indonesia (KKI) Prof dr Menaldi Rasmin, Sp P(K) FCCP, memberikan tanggapan terhadap kasus malapraktik secara umum. Ia secara pribadi mengatakan, tak ada dokter yang sengaja berniat melakukan kesalahan dalam melakukan praktik karena menyangkut kredibilitas dan kariernya.

"Kalau sengaja melakukannya, lambat laun semua orang akan tahu dan lama-lama akan terhenti kariernya. Perlu diingat bahwa dokter juga seorang manusia," ujarnya.

Menurut Menaldi, semua dokter akan berupaya bekerja sebaik yang ia lakukan. Namun, sebuah kecelakaan dan sebuah hal lain bisa saja terjadi di luar tindakan yang diprediksi. "Semua tindakan medis tentulah berisiko. Semua kemungkinan risiko sudah dicoba untuk dicegah, dipersiapkan kemungkinan terburuk sehingga jika memang terjadi sesuatu yang di luar dugaan, maka bisa saja keluarga pasien tidak terima. Tapi ini namanya sengketa medis dan bukan malapraktik karena itu yang paling penting adalah komunikasi antara dokter dan pasien," tandasnya.

Lebih jauh, Menaldi menjelaskan bahwa seorang dokter bekerja hanya untuk kepentingan pasien. Jika pasien tak mau melakukan tindakan, maka itu terserah pada pasien. Tugas dokter hanya menjelaskan. Namun, pilihan tetap pada pasien. "Jika pasien mau melakukan tindakan, maka pasien harus diberi tahu dan setuju. Pasien juga harus menandatangani surat persetujuan tindakan medis.

Yang penting, kata dia, dokter harus mementingkan pasien dan bukan dirinya sendiri. Jangan lupa untuk komunikasikan hal buruk dan baik yang mungkin terjadi terhadap pasien di antara pasien dan dokter sehingga mengurangi risiko sengketa medis.

"Sebaiknya berikan saja semua keterangan medis yang menjadi hak pasien, tapi perlu diingatkan juga bahwa dokter bukanlah dewa dan bisa saja terjadi hal-hal yang di luar perhitungan kita," tandas Menaldi.
www.kompas.com

Prita Inginkan Perdamaian Perkara Pidana dan Perdata


Prita Mulyasari (32) tidak menginginkan perdamaian hanya dilakukan untuk perkara perdata dugaan pencemaran nama baik terhadap Rumah Sakit Omni International Alam Sutra, Serpong, Tangerang Selatan. Ia juga berharap rumah sakit itu menunjukkan iktikad baik untuk perdamaian atas perkara pidana serupa yang dituduhkan kepadanya.

"Perkara ini kan satu paket, makanya kedua-duanya harus diselesaikan. Bukan cuma perdata saja, tetapi pidana juga," kata Prita yang dihubungi Kompas, Jumat (11/12/2009) malam, menanggapi sikap pimpinan RS Omni International Alam Sutra yang mencabut gugatan perkara perdata tanpa syarat dan menyatakan permohonan maaf secara terbuka.

Menurut Prita, jika rumah sakit berniat baik dan tulus untuk ajakan berdamai, seharusnya mereka juga menunjukkan sikap ingin menyelesaikan perkara pidananya.

"Memang saat ini proses hukum pidana sedang berjalan dan perkaranya tidak bisa dicabut. Tetapi, alangkah baiknya manajemen rumah sakit dan dokter yang menggugat saya dengan arif dan bijaksana mendatangi majelis hakim untuk menyatakan bahwa mereka bukanlah korban dari perkara yang dituduhkan kepada saya," papar Prita.

Anggota tim penasihat hukum Prita dari OC Kaligis & Associates, Slamet Yuwono, mengatakan, pihaknya menghargai sikap RS Omni. "Tetapi kami juga menghormati langkah mediasi dari Departemen Kesehatan, di mana dalam draf perjanjian disebutkan perdamaian yang diupayakan untuk perkara perdata dan pidana," ujar Slamet.

"Enggak ada artinya perkara perdata dicabut, sementara pidana juga tidak didamaikan," jelas Slamet.

Menurut Slamet, pihak RS Omni juga harus memikirkan pengorbanan dan penderitaan Prita selama dipenjarakan 21 hari akibat perkara pidana yang dituduhkan kepadanya.

"Lebih dari satu tahun Prita terlunta-lunta dan menderita karena perkara pidana, masak itu dilupakan?" ujar Slamet. kompas.com